” Kami sudah kehabisan akal, karena berbagai upaya telah kami lakukan, dari menemui Menteri Susi, hingga mengeluh ke DPR-RI, agar para buruh nelayan dapat bekerja kembali. Hampir setiap hari ada buruh nelayan korban PHK, tanya lowongan kerja,” kata Ketua HNSI Sulut, Hein Koyongian.
Menurutnya sekitar 2.500 orang buruh nelayan yang menjadi ABK, telah kehilangan pekerjaan, akibat kebijakan moratorium transhipment, akhir 2014. Jumlah ini dipastikan akan terus bertambah, seiring dengan dikeluarkannya PP No. 75 tahun 2015, tentang kenaikan Pungutan Hasil Perikanan yang menjadi sumber PNBP KKP.
” Kita belum siap dengan larangan alih muat (transhipment) karena kapal-kapal kita sebagian besar jenis purse sein, kapal jaring membutuhkan kapal penampung untuk memuat hasil tangkapan ke Pelabuhan Bitung,” timpal Ketua AKPN, DR. Rudy Walukow.
Menurut Rudy Walukow, proses perijinan di KKP saat ini berbelit-belit, sehingga banyak kapal tak melaut gara-gara ijin tak segera dikeluarkan. Permasalahan lebih kompleks lagi karena PHP naik 100%, 400% dan 1000%.
” Untuk kapal ikan 30-60 GT naik 100%, 60-100 GT naik 400%, dan di atas 100 GT naik sampai 1000%.,”tambah Walukow.
Disamping itu masyarakat perikanan Kota Bitung mencurigai, adanya monopoli untuk perairan Zona Ekonomi Eklusif atau 200 mil dari pantai terluar, karena pembatasan kapal hanya 150 GT ke bawah.