MK menyingkirkan “ruh” UU Pilkada yakni kasus-kasus korupsi yang menggurita akibat dinasti politik seperti di Banten dan Bangkalan. Di daerah tersebut suami, istri, kakak, adik, anak, ipar, menguasai lini kekuasaan eksekutif dan legislatif, Praktis hanya Yudikatif yang tak dalam genggaman dinasti. Namun adanya Forkopimda dengan anggaran yang memiliki ketergantungan kepada eksekutif dan legislatif, menjadikan yudikatif “mandul” karena terkooptasi. Trias Politica, atau teori pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, dari Montesqueieu tidak berjalan. Karena checks and balances system tak berjalan dengan baik.
Dengan begitu, Politik dinasti sejatinya menjadi anti-tesis dari sistem demokrasi kita. Namun faktanya di negara demokrasi sebesar Amerika Serikat, politik dinasti masih berlaku, seperti yang dilakukan oleh klan Kennedy, Bush dan Clinton. So… apakah politik dinasti salah ? Sepenuhnya tentu tidak salah, selama dapat dipertanggungjawabkan dan legitimate.
Dengan sistem Pemilu/ Pilkada yang demokratis ternyata politik dinasti berkembang bak jamur di musim hujan, dari Sabang hingga Merauke. Sejarah panjang budaya bangsa Indonesia dari jaman Kerajaan Kutai, Singasari, Majapahit, Sriwijaya, hingga yang kini masih berjalan Mataram, ternyata masih meninggalkan kesan mendalam bagi sebagian besar bangsa Indonesia.
Kita tak dapat menyalahkan hegemoni dinasti politik an sich, karena sistem demokrasi. Dalam demokrasi, dengan Pemilu/ Pilkada yakni rakyatlah yang memilih siapa yang bakal berkuasa. Sebagai warga kota Bitung, kita berharap siapapun yang mendapatkan mandat rakyat sebagai Walikota/ Wakil Walikota berkualitas dan dapat merubah kota Bitung lebih baik. Membangun Sarana Pendidikan yang bermartabat bebas Pungli, jaminan kesehatan yang berkualitas dengan membangun kualitas alat dan sdm RSUD menjadi Rumah Sakit Rujukan, dan membangun kawasan industri yang sustainable, untuk mewujudkan Bitung sebagai Smart City 2020.
Thanks for those likes. U made my day☺❤❤
Thanks for those likes. U made my day ☺ ❤ ❤