Dua orang yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang oleh Polres Bitung, sejatinya bisa menjadi ‘whistle blower’ untuk menguak arah tujuan pendidikan, kalau tidak boleh disebut sebagai borok sistem pendidikan kita. Namun harapan kita untuk itu kelihatannya sulit untuk terjadi, karena banyak faktor: seperti intimidasi, karir, kentalnya patron-client, dll.
Pemerintah menjadi biang kerok carut-marut dunia pendidikan, terutama dengan jargon pendidikan ‘gratis’ yang nyatanya mahal. Karena jargon gratis yang nyatanya masih bayar uang senin, partisipasi, snack untuk guru jaga ujian, uang meja-bangku dll, sama artinya mengajar anak-anak didik menjadi penipu…, membenarkan pungutan liar. Itukah character building sebagai tujuan pendidikan ?
Memang sih tidak semua daerah yang tak peduli pendidikan, sebut saja kota dan Kabupaten Blitar, pendidikan gratis bukan hanya sebagai jargon. Sejak 2011, siswa SD hingga SMA, di antar jemput oleh bus sekolah yang memang disiapkan oleh Pemda setempat. Demikian juga dengan sumbangan pendidikan, seragam, kaos kaki, buku, alat tulis, semua gratis. Bahkan mulai tahun ini, setiap siswa yang akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi (swasta/negeri) mendapatkan insentif 1 juta, untuk merangsang sekolah setinggi-tingginya.
Pendidikan adalah salah satu hak azasi manusia, bahkan salah satu hak dasar setiap warga negara (citizen’s right), sesuai UUD 1945 Pasal 31 ayat 3(amandemen), bertujuan tak semata-mata mencerdaskan anak bangsa, namun lebih ke character building karena sebelum disebut mencerdaskan bangsa lebih dulu disebut “…sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia…”
Masyarakat kota Bitung masih beruntung, karena akan menghadapi Pilkada serentak 9 Desember mendatang. Paling tidak masyarakat punya harapan agar pemerintah mendatang merupakan pemerintah yang tak hanya jago membuat jargon, namun pemerintah yang peduli terhadap masa depan anak bangsa. (Redaksi)